Menu Close
Seorang warga tengah mencoba memadamkan api di lahan hutan. EPA/Hotli Simanjuntak

Lahan gambut masih rusak, penetapan status siaga darurat dini api di Riau tidak akan efektif

Pemerintah Riau telah menetapkan status siaga darurat dini api selama sembilan bulan dari bulan Februari hingga Oktober guna mengontrol risiko kebakaran di wilayahnya.

Penetapan siaga darurat ini bermaksud mempermudah akses badan penanggulangan bencana nasional dan daerah, yaitu BNPB dan BPBD, dalam menggerakkan potensi sumber daya, misalnya pengerahan peralatan dan logistik, pengadaan barang dan jasa, serta jalur komando, untuk mengatasi bencana.

Skema ini juga memberikan ruang bagi pemerintah pusat untuk memberi bantuan operasional maupun pendanaan kepada pemerintah daerah.

Tahun lalu, 328.722 hektare hutan dan lahan di Indonesia terbakar. Hampir sepertiga dari lokasi yang terbakar berada di Riau.

Keputusan Riau menyusul penetapan siaga darurat dini yang dilakukan pemerintah Riau pada tahun-tahun sebelumnya.

Provinsi Riau berhasil menurunkan luasan areal terbakar dari 2,6 juta hektare di tahun 2015 ke angka 510.564 hektare pada tahun 2018. Tahun 2019 lalu, status siaga darurat ini juga berlangsung selama sembilan bulan.

Namun, pakar kehutanan mempertanyakan efektivitas status tersebut mengingat upaya pemulihan lahan gambut, yang sifatnya mudah terbakar dalam keadaan kering, belum optimal.

Belum optimalnya pemulihan lahan gambut karena banyak masyarakat yang mengeringkan lahan gambut, yang seharusnya basah, untuk menanam sawit dan pohon akasia (bahan baku pembuatan bubur kertas dan kertas).

Proses ini membuat gambut kering dan rusak sehingga mudah terbakar. Ini menjadi penyebab utama kebakaran hutan dan lahan yang sering terjadi di Indonesia.

Hingga kini, lahan gambut yang rusak di provinsi Riau dan memerlukan pemulihan sekitar 700.000 hektare.

Pengelolaan air untuk pemulihan gambut

Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau, mengungkapkan terdapat beberapa masalah dalam pemulihan gambut di lapangan, termasuk pengelolaan air untuk memastikan lahan-lahan gambut di provinsi tersebut tetap basah.

Selain penetapan status siaga, Riko mengatakan bahwa pemerintah harus memastikan agenda pemulihan dan perlindungan gambut di lahan gambut berjalan baik di lapangan.

“Kejadian kebakaran ini (sudah) terjadi berulang-ulang (karena) gambut kita ini kan masih rusak. Sedangkan, agenda pemulihan masih berjalan lambat. Jadi, yang harus dilihat pemerintah itu bagaimana agenda perlindungan bisa berjalan kuat dan berkelanjutan agar kebakaran itu bisa dicegah dengan pemulihan gambut dan (kebakaran) tidak terulang lagi,” tandas Riko.

Kunci pemulihan gambut adalah pembasahan kembali ekosistem gambut untuk mencapai kondisi alami gambut, baik untuk mengurangi potensi terbakar maupun mengurangi emisi.

Namun, pelaksanaan restorasi gambut juga harus mempertimbangkan kesatuan ekosistem gambut.

“(Pemegang) konsesi bisa melakukan (perlindungan gambut) dengan baik di lokasinya, namun tidak bisa berbagi air dengan kawasan (di) sebelahnya. Maka, (gambut) akan kering juga,” jelas Riko mengritik belum optimalnya peran pemilik lahan dalam pemulihan gambut.

Senada dengan Riko, peneliti dari Center for International Forestry Research (CIFOR), Herry Purnomo mengatakan penyebab tidak optimalnya pengelolaan lahan gambut adalah karena perusahaan membatasi aliran air ke daerah sekitar.

“Bisa di hulu ada perusahaan, di hilir ada masyarakat, sementara kanal perusahaan ini kan besar dan dalam. Sehingga, kalau lagi musim kering, air itu berhenti di perusahaan. Itu menjadi bencana bagi yang di hilir,” kata Herry.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 16 Tahun 2017 mewajibkan pemegang usaha di lahan gambut untuk melakukan pemulihan gambut di wilayah usaha mereka.

Namun, prinsip pelaksanaan kegiatan pemulihan gambut ini berbasis kesatuan ekosistem dan bukan pada area wilayah kerja.

Keduanya juga mengingatkan peran pemerintah sebagai “wasit” dalam tata kelola air di lahan gambut.

“Peran penting pemerintah (pusat) untuk mengarahkan bagaimana agenda-agenda pemulihan itu bisa terintegrasi. Sehingga, BRG (Badan Restorasi Gambut), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Pertanian (Kementan), dan pemerintah daerah itu mengikuti bagaimana kita pulihkan gambut satu kesatuan dengan rumusan sama: berbagi air,” jelas Riko.

Ia menambahkan bahwa tidak ada jaminan bahwa api tidak akan terjadi di musim kemarau, kecuali gambut tetap basah.

“(Penetapan status siaga darurat ini) untuk mencegah asap dan meminimalkan kebakaran, iya. Tapi, untuk memastikan tidak ada lagi api-api tahun mendatang jika kemarau panjang, ya tidak ada jaminan. Yang bisa menjamin tidak ada api, gambut ini kembali basah,” tandasnya

Peran masyarakat lokal

Masyarakat lokal sebenarnya sudah mengelola lahan gambut tanpa pengeringan. Namun, mereka memilih mengeringkan gambut dengan cara dibakar karena desakan ekonomi.

Oka mengatakan hal ini disebabkan karena adanya pergeseran gaya hidup, dari menggarap lahan untuk pemenuhan kebutuhan dasar menjadi permintaan industri kertas atau sawit.

“Hanya ekonomi yang berbasis produksi kertas dan sawit itulah satu-satunya cara masyarakat daerah lahan gambut untuk bertahan hidup dan menjadi semakin makmur, di atas aktivitas ekonomi (sawit dan kertas) yang sesungguhnya adalah bentuk perusakan lahan gambut secara terstruktur dan masif”, tandas Oka.

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa perlindungan gambut yang dilakukan oleh masyarakat lokal sampai saat ini pun sebatas untuk melindungi aset ekonomi mereka terhadap ancaman risiko kebakaran yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Contohnya, Desa Dosan, Provinsi Riau, yang mampu melindungi lahan gambut di wilayah mereka dari risiko kebakaran, namun mereka melakukannya hanya untuk menjaga keberlangsungan komoditas tanaman yang menjadi sumber pendapatan mereka.

Untuk melindungi gambut seutuhnya, baik Oka maupun Herry mengatakan, salah satu cara adalah mengubah strategi pemanfaatan lahan gambut, yaitu mengganti komoditas sawit atau pulp dengan komoditas lain yang dapat berkembang tanpa mengeringkan lahan gambut.

Hal ini bisa diwujudkan dengan teknik paludikultur - teknik budidaya tanaman di lahan gambut yang tetap basah – berdasarkan model bisnis yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama.

“Yang kami lakukan di Bengkalis (Riau) adalah merestorasi gambut dengan wanatani nanas dan pepohonan, karena nanas laku dijual. Kalau restorasi hanya ekosistem saja, masyarakat akan berperan tapi kurang antusias karena tidak menyangkut kebutuhan mereka sehari-hari yang berhubungan dengan penghasilan”, tambah Herry.

Pemerintah juga harus memberikan masyarakat lokal insentif suntikan modal agar mereka mampu mengembangkan mata pencaharian yang makin kreatif sambil tetap bisa menjaga ekosistem gambut yang lestari.


Riko Kurniawan, direktur eksekutif WALHI Riau, telah diwawancara untuk kelengkapan artikel ini.


Dapatkan kumpulan berita lingkungan hidup yang perlu Anda tahu dalam sepekan. Daftar di sini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now